Tragedi Gerbong Maut Bondowoso (1947)

 

Gerbong Maut Bondowoso adalah sebuah tragedi memilukan dari sederetan tragedi lainnya di masa lalu akibat kebiadaban para penjajah. Peristiwa Gerbong Maut terjadi beberapa bulan setelah Agresi Militer I pada 21 Juni 1947. Saat itu pertempuran yang terjadi tidak imbang, Belanda datang dengan kekuatan penuh sementara rakyat Indonesia hanya bisa melawan dengan senjata seadanya.

Saat itu Indonesia kalah dan para pejuang ditahan oleh pihak Belanda. Para pejuang ditempatkan di pusat-pusat keamanan Belanda seperti Veiligheids Dienst Mariniers Brigade (VDMB) di Jalan Jember, Bondowoso yang terkenal sebagai tempat penyiksaan. Selain VDMB, Area Tapal Kuda yang berada di bagian timur Provinsi Jawa Timur juga menjadi wilayah operasi Marinir Belanda saat itu. Para pejuang yang tertangkap diperlakukan secara tidak manusiawi.

Kemudian beberapa tahanan dari VDMB dan lokasi lain dikirimkan ke penjara Bondowoso. Disana mereka ditempatkan di sel. Pada 23 November 1947, tahanan diberi makanan oleh para penjaga penjara sebagaimana biasanya, kemudian mereka diminta kembali ke sel. Ini adalah momen terakhir para tahanan makan sebelum tragedi tersebut terjadi.

Setelah makan, mereka mendapat kabar akan dipindahkan lagi, namun belum tau kemana dan kapan waktu pemindahan akan berlangsung. Tahanan mengemasi barang-barang mereka dan bersiap jika diperintahkan untuk pindah. Keesokan harinya, pukul 05.15 para tawanan dikeluarkan dari sel. Komandan VDMB, Letnan Dua Marinir J. van den Dorpe memerintahkan mereka keluar dan berbaris empat-empat di halaman penjara Bondowoso. Mereka dikabari akan dipindahkan ke Surabaya.

Komandan VDMB, Letnan Dua Marinir J. van den Dorpe, memerintahkan mereka keluar dan berbaris empat-empat di halaman penjara Bondowoso. Berdasarkan surat yang ditulis Letnan Dua van den Dorpe, para tawanan akan dikirim ke Surabaya. Hal itu dilakukan demi kepentingan pemeriksaan dan untuk pencegahan mengulangi perbuatannya ataupun untuk pencegahan usaha melarikan diri.

Pukul 05.30 para tawanan berjumlah 100 orang digiring ke Stasiun Bondowoso. Di stasiun sudah ada tiga buah gerbong barang yang diperuntukkan khusus untuk mereka. Para tawanan langsung diperintahkan memasuki gerbong-gerbong tersebut tanpa diberi kesempatan sama sekali untuk makan dan minum.

Gerbong-gerbong itu berukuran kecil dan tertutup rapat dengan seng. Nyaris tidak ada ventilasi sama sekali di gerbong tersebut karena sebenarnya gerbong-gerbong itu diperuntukkan untuk pengiriman barang, bukan transportasi manusia.

Dengan jumlah tahanan 100 orang, tiap gerbong rata-rata diisi 30-an orang. Gerbong paling depan bernomor registrasi GR5769, gerbong kedua GR4416 dan ketiga bernomor registrasi GR10152. Pukul 07.30 kereta pun berangkat dengan membawa 100 orang tahanan. Saat itu hari masih pagi dan para pejuang pun masih bisa bernafas dengan lancar karena jendela gerbong belum lama ditutup dan masih menyisakan udara segar di dalam gerbong tersebut.Mereka harus berdesakan di dalam gerbong gelap minim cahaya dan tanpa ventilasi itu.

Bagian dalam gerbong

Menjelang siang, ketika matahari sudah berada diatas kepala, tragedi pun dimulai. Di gerbong ketiga, dengan jumlah tawanan terbanyak, beberapa tawanan mulai sesak karena udara segar tidak bisa masuk.
Korban mulai berjatuhan ketika kereta memasuki Stasiun Kalisat pada pukul 11.00, 3 setengah jam sejak kereta mulai berjalan. Enam pejuang meninggal kehabisan nafas.

Melihat teman seperjuangannya tewas satu per satu, para tahanan yg masih sehat mencoba menggedor-gedor dinding gerbong pertama yang berada dekat dengan gerbong para pengawal. Namun pihak Belanda berkata: “air dan angin tak ada, yang ada hanya peluru!"

Saat singgah di Stasiun Jember, jumlah korban tewas bertambah menjadi 12 orang. Selama pemberhentian itu, gerbong-gerbong tahanan dijemur dibawah terik matahari sekitar tiga jam.

Perjalanan pun dilanjutkan, hujan lebat di sekitar Stasiun Klakah membuat panas dalam gerbong sedikit berkurang. Ada satu celah kecil seukuran paku disana yang digunakan secara bergantian untuk mendapatkan udara segar.

Sampai di Stasiun Probolinggo, suasana semakin menegangkan karen para tawanan kembali menggedor-gedor gerbong lebih keras dari sebelumnya. Namun semakin lama suara melemah. Beberapa yang masih bertahan masih terus mencoba menggedor, meminta tolong dan memohon untuk dikeluarkan karena kini jumlah korban yang tewas saat itu diperkirakan sudah mencapai 30 orang. Para serdadu Belanda tidak memperdulikan mereka sama sekali. Salah satu serdadu yang mengawal ketika itu pun berujar “Biar saja mati semua, saya lebih senang seperti itu daripada ada yang masih hidup."

Sepanjang jalan menuju Surabaya suara para tahanan yang berteriak dan menggedor-gedor dinding gerbong masih terdengar. Bahkan ada yang mencakar-cakar sisi gerbong, menunjukkan bagaimana frustasinya kondisi waktu itu. Setelah sekitar 15 jam tersiksa dalam gerbong, para tahanan tiba di Stasiun Wonokromo. Saat pintu gerbong dibuka, ditemukan korban tewas sebanyak 46 orang. Sementara mereka yang masih hidup, 12 orang diantaranya sakit parah, 30 lemas tak berdaya dan hampir hilang kesadaran sementara hanya 12 yang dianggap benar-benar sehat.

Gerbong ketiga menjadi "peti mati" bagi seluruh pejuang yang ada di dalamnya. Ketika sampai di stasiun akhir, saat Belanda memerintahkan seluruh tahanan keluar, pejuang di gerbong ini sama sekali tidak merespon dan ketika dicek, seluruh tahanan didalamnya telah tewas.

Saksi bisu sejarah sekaligus lokasi terjadinya tragedi ini bisa kalian temui di Malang.

Gerbong kode GR 10152 atau gerbong ketiga itu kini tersimpan di Museum Brawijaya, Kota Malang, yang dikelola langsung oleh TNI AD, dalam hal ini Kodam V Brawijaya.


Kemana 2 gerbong sisanya? Tidak ada yang tau. Diduga Belanda mencoba menghilangkan barang bukti kejahatannya itu. Sedangkan 2 gerbong yang juga dijuluki "Gerbong Maut" di Surabaya dan Bondowoso hanyalah replika dan bukan gerbong yang sebenarnya.


Mungkin ada yang melihat jendela besar di bagian gerbong ini dan bingung, kenapa ga dibuka? Jawabannya adalah karena ini kereta barang. Akses buka tutup hanya bisa dilakukan dari luar. Jendela juga dikunci dari luar oleh Belanda.

Demi menghormati para pejuang yg gugur itu kemudian dibangun "Monumen Gerbong Maut" lengkap dengan sekumpulan orang yang sedang bersiap berperang dan sebuah gerbong dibelakangnya.


Komentar