Menganalisis Dua Versi Kematian 7 Pahlawan Revolusi Indonesia - G30S PKI

 

Disclaimer : postingan ini dibuat bukan untuk membandingkan versi mana yang lebih kejam, tapi untuk menganalisis karena dua versi kematian 7 pahlawan revolusi sangat bertentangan satu sama lain. Versi mana yang lebih pembaca percaya kembali kepada pembaca. 

Tanggal 30 September, tragedi G30S PKI atau yang juga sering disebut Gestapu selalu menjadi perbincangan bahkan banyak yang berdebat mengenai otak dari tragedi ini. Tapi, kali ini kita tidak akan membahas mengenai dalang dibalik tragedi G30S PKI, melainkan menganalisis kondisi jasad 7 pahlawan revolusi yang menurut penjelasan orde baru dan hasil yang rilis tanggal 5 Oktober satu sama lain saling bertentangan. Perbedaan-perbedaan mengenai kondisi jenazah tersebut meliputi proses penemuan jasad, luka-luka di tubuh dan hasil autopsi. 

Sebelum membahas perbedaan informasi dari rilis militer Orde Baru dan hasil autopsi, terlebih dahulu kita bahas awal mula penemuan jenazah hingga peran media dalam menyebarkan berita terkait tewasnya 7 pahlawan revolusi.

Film tragedi G30S PKI setiap tahun selalu diputar dan itu sudah berlangsung sejak masa Orde Baru. Peran media sangat penting dalam kasus ini, karena menjadi informasi awal hingga beredar ke masyarakat. Media yang dipercaya memberitakan tragedi G30S PKI saat itu yakni media milik ABRI, Harian Angkatan Bersendjata edisi 4 Oktober 1965. Saat ini, harian tersebut telah menjadi inventaris Arsip KOTI 1963-1967 No. 52 ANRI. Harian Angkatan Bersendjata dengan narasi "Perbuatan biadab berupa penganiajaan jang dilakukan diluar batas perikemanusiaan."

Hal yang sama juga terlampir dalam harian Yudha. Harian Yudha memberikan narasi "Bekas luka di sekudjur tubuh akibat siksaan sebelum ditembak membalut tubuh pahlawan kita."

Saat itu, informasi mengenai tewasnya 7 pahlawan reformasi ini sangat terbatas. Bahkan, media-media lain yang ingin memberitakan tragedi mendapatkan informasi dari dua media diatas, sehingga pada saat informasi ini semakin tersebar luas masyarakat meyakini bahwa berita yang beredar adalah fakta karena masyarakat tidak bisa mengkonfirmasi informasi tersebut lebih lanjut. Berita yang didapatkan masyarakat hanya dari media bukan dari hasil visum an hasil autopsi sehingga apa yang ditayangkan dalam film dianggap sebagai fakta oleh masyarakat.

Dalam harian Yudha, Ahmad Yani dilaporkan ditembak di rumahnya sendiri, dilempar ke truk dan disiksa saat di lubang buaya. Dikatakan bahwa Ahmad Yani mengalami luka di leher, matanya dicongkel dan wajahnya hancur.

Pada tanggal 7 Oktober 1965, Harian Angkatan Bersendjata menerbitkan berita tentang tewasnya Jenderal Harjono dan Jenderal Pandjaitan yang diberitakan ditembak di rumahnya sendiri dan bekas luka yang ada di tubuh mereka.

Kemudian pada edisi 9 Oktober, harian Yudha memberitakan walaupun wajah dan kepala Jenderal Suprapto terdapat luka pukulan namun wajahnya masih dapat dikenali. Selanjutnya kematian Kapten Tendean memiliki luka irisan pisau di dada kirinya serta bagian perut, leher digorok serta mata dicongkel. Harian Yudha juga mengutip pernyataan saksi, "Ada jang dipotong kelaminnja banjak hal jang sama sekali mengerikan dan diluar perikemanusiaan." 


Mayjend Soeharto kemudian memberikan pernyataan "Djelaslah bagi kita jang menjaksikan dengan mata kepala betapa kedjamnja anijaja jang telah dilakukan oleh petualang biadab dari apa jang dinamakan Gerakan 30 September."

Penemuan lokasi pembuangan jenazah 7 pahlawan revolusi dibantu oleh seorang polisi yaitu AKBP Sukitman. 


Pada tanggal 3 Oktober 1965, sebuah lubang yang menyebarkan aroma busuk berhasil teridentifikasi dibawah tumpukan daun dan lumpur. Kondisi saat itu belum ada seorang pun yang sanggup untuk masuk kedalam lubang berbau busuk itu karena bahkan sebelum masuk ke lubang saja orang-orang sudah mengalami pusing dan muntah-muntah akibat mencium bau busuk yang sangat menyengat. 

Akhirnya, bantuan dari Korps Komando Angkatan Laut datang. Bantuan yang diberikan berupa tabung  oksigen. Evakuasi jenazah kemudian dilakukan dengan dipimpin oleh Komandan KIPAM KKO-AL Kapten Winanto. 


Orang pertama yang turun ke Lubang Buaya ialah anggota RPKAD Kopral Anang dengan masker dan tabung oksigen pada pukul 12.05 WIB. Ia mengikatkan sebuah tali pada salah satu jenazah yang kemudian ditarik keatas. Jenazah pertama yang berhasil dievakuasi adalah jenazah ajudan Jenderal Nasution yaitu Lettu Pierre Tendean.

Kedua, Serma KKO Suparimin turun pukul 12.15 WIB dan memasangkan tali pada salah satu jenazah, namun jenazah tidak bisa ditarik karena tertindih jenazah lain.

Orang ketiga yang memasuki Lubang Buaya ialah Prako KKO Subekti pada pukul 12.30 WIB dan berhasil mengevakuasi 2 jenazah. Kedua jenazah tersebut ialah Mayjen S Parman dan Mayjen Suprapto. 

Selanjutnya Kopral KKO Hartono turun ke Lubang Buaya pada pukul 12.55 WIB. Jenazah Mayjen MT Haryono dan Brigjen Sutoyo berhasil dievakuasi. 

Serma KKO Suparimin masuk untuk yang kedua kalinya pada pukul 13.30 dan berhasil mengevakuasi jenazah keenam yang teridentifikasi sebagai Letjen Ahmad Yani.

Kemudian penyelam KKO dan RPKAD sudah tidak sanggup lagi masuk kedalam lubang karena terguncang secara psikologis dan kelelahan, padahal seseorang harus masuk untuk memastikan apakah masih ada jenazah di dalam sumur. Beberapa prajurit yang bertugas, ada yang mengalami keracunan bau busuk yang menyebabkan muntah-muntah tanpa henti. Hal tersebut tentu saja sangat dimaklumi mengingat jenazah dalam lubang terendam dengan arah mereka sendiri selama hampir 4 hari.

Akhirnya sang komandan yakni Kapten Winanto menjalankan tugas terakhir ini. Ia turun dengan membawa alat penerangan untuk mengecek keberadaan jenazah lain. Dan ternyata benar masih ada satu jenazah lagi dalam sumur tersebut sekaligus jenazah terakhir yang berhasil ditemukan. Jenazah tersebut teridentifikasi sebagai Brigjen D.I. Panjaitan, yang sebelumnya dilaporkan sebagai perwira angkatan darat yang hilang.

Sebanyak 7 jenazah tersebut kondisinya sangat sulit dikenali karena telah terendam darah dan lumpur berhari-hari sehingga pembusukan terjadi lebih cepat. Soeharto sebagai kepala negara saat itu kemudian menunjuk 5 orang dokter untuk mengidentifikasi ketujuh jenazah itu. Dokter-dokter tersebut antara lain :
1. dr. Brigadir Jenderal Roebiono Kertopati (perwira tinggi yang diperbantukan di RSP Angkatan Darat)
2. dr. Kolonel Frans Pattiasina (perwira kesehatan RSP Angkatan Darat)
3. Prof. dr. Sutomo Tjokronegoro (ahli Ilmu Urai Sakit Dalam dan ahli Kedokteran Kehakiman, prof FK UI)
4. dr. Liau Yan Siang (lektor dalam Ilmu Kedokteran Kehakiman FK UI) - foto kanan
5. dr. Liem Joe Thay atau dikenal sebagai dr. Arief Budianto (lektor Ilmu Kedokteran Kehakiman FK UI) - foto kiri

Pada 5 Oktober pukul 00.30, kelima dokter tersebut berhasil menyelesaikan tugas mereka. Di hari yang sama, ketujuh jenazah dimakamkan di TMP Kalibata. Visum Et Repertum yang berisi data jenazah yang diperiksa serta ata dokter yang memeriksa kemudian dikeluarkan. Salinan visum tersebut belakangan ini tersebar, salah satunya melalui dokter yang memeriksa jenazah yaitu Liau saat wawancara dengan Alfred Ticoalu. Ia mengatakan bahwa salinan dibawah ini sesuai dengan apa yang ia kerjakan.

Jika melihat hasil visum yang tidak pernah dipublikasikan pada masa Orde Baru, kita akan menemukan fakta-fakta baru terkait kematian 7 pahlawan revolusi yang bertolak belakang dengan rilis militer. Dokumen hasil visum dibawah ini ditemukan Benedict Anderson, seorang ilmuan dari Cornell University.

Dari hasil visum tersebut kita mengetahui bahwa apa yang dirilis oleh media yang dikontrol oleh angkatan darat pada masa orde baru kurang tepat. Dalam laporan hasil visum, para pahlawan dibunuh dengan tembakan serta tusukan pisau bayonet. Tidak ada irisan silet, mata dicongkel atau pemotongan alat kelamin. 

Benedict Anderson asal Cornell University, menemukan laporan hasil autopsi yang disusun oleh tim dokter yang terdiri dari dua dokter Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), dr. Brigjen Roebiono Kertapati & dr. Kolonel Frans Pattiasina. Ditambah tiga dokter sipil spesialisasi forensik medis Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) yakni dr. Sutomo Tjokronegoro, dr. Liau Yan Siang, dan dr. Lim Joe Thay. Tim ini dibentuk pada 4 Oktober 1965, berdasar perintah Mayjen Soeharto selaku Panglima KOSTRAD.

Berikut ini adalah hasil pemeriksaan ketujuh jenazah pahlawan revolusi :

1. Ahmad Yani
Ahmad Yani berhasil diidentifikasi oleh Kolonel CDM Abdullah Hassan denga penanda utama parut pada punggung tangan kiri dan pakaian yang dikenakan serta kelebihan gigi berbentuk kerucut pada garis pertengahan rahang atas diantara gigi-gigi seri pertama. 



2. R. Soeprapto
R. Soeprapto berhasi diidentifikasi oleh dokter gigi RSPAD Kho Oe Thian dari susunan gigi geliginya.


3. M.T Harjono
Jenazah M.T Harjono diidentifikasi oleh saudara kandungnya, M.T Moeljono yang bekerja sebagai pegawai Perusahaan Negara Gaya Motor. Salah satu penandanya adalah cincin kawin bertuliskan "Mariatna" yang tidak lain adalah nama sang istri.


4. S. Parman
Jenazah berhasil teridentifikasi karena tanda anggota AD, SIM dan foto dalam dompetnya. Selain itu, penanda lain adalah cincin kawin bertuliskan "SPM".


5. D.I Panjaitan
Copar Panjaitan yang merupakan adik D.I Panjaitan berhasil mengidentifikasi jenazah kakaknya berkat pakaian yang dikenakan beserta cincin emas bertuliskan "D.I Panjaitan".


6. Soetojo Siswomihardjo
Jasadnya berhasil diidentifikasi oleh adiknya yang merupakan dokter hewan. Jasad berhasil dikenali dari jari kakinya yang tidak memiliki ibu jari, jam tangan merk Omega, dua cincin emas yang masing-masing bertuliskan "SR" dan "SS" serta pakaian yang dikenakannya. 


7. Pierre Tendean
P. Tendean berhasil diidentifikasi oleh perwira kesehatan Dirkes AD CDM Amoro Gondoutomo yang menjadi dokter pribadi Menko HAM. Jasadnya dikenali melalui gigi geligi, pakaian yang dikenakan dan cincin logam dengan batu cincin berwarna biru.

Saat itu, hasil autopsi diatas tidak dirilis secara publik. Berita yang diterima publik hanya dari rilis militer. Hasil rilis inilah yang bertolak belakang satu sama lain terutama tentang kondisi jenazah. Rilis militer mengatakan bahwa Ahmad Yani matanya dicongkel sedangkan pada rilis autopsi ternyata tidak demikian. Rilis militer juga mengatakan bahwa Mayjen Soeprapto kemaluannya dipotong, namun hasil autopsi mengatakan hal tersebut tidak terjadi. 

Apa yang terjadi pada 7 pahlawan revolusi memang sangat sadis, tapi rilis militer pada Orde Baru yang mengatakan adanya pencongkelan mata, diirisnya telinga, lidah dipotonh hingga kemaluan yang dipotong faktanya perlu dipertanyakan. 

Tentu kita juga tidak lantas menyalah secara mutlak informasi awal versi orde baru, tapi mari mencari versi mana yg paling kuat buktinya. Karena dari 2 versi kematian para Pahlawan Revolusi ini akan menuntun kita ke muara, siapa pelaku sebenarnya dibalik peristiwa G30S PKI.
Untuk laporan lengkap terkait hasil autopsi Pahlawan Revolusi, kawan-kawan bisa mengakses serta mendownload langsung tulisan Benedict Anderson yang berjudul How Did The Generals Die terbitan Cornell University pada April 1987. Download disini.

Atau kawan-kawan bisa menyimak wawancara dr. Law Yian Siang, salah satu dokter yang menjadi tim autopsi 7 Pahlawan Revolusi, terbagi part 1 dan part 2. Wawancara Bagian 1 dan Wawancara Bagian 2

Video asli pengangkatan jenazah 7 pahlawan revolusi :


Komentar